Kini aku kembali kemari, karena tidak menemukan jawaban yang aku cari. Apakah ibuku juga akan kembali? — Hyewon, Little Forest (2018)
Little Forest jadi salah satu korean movie yang selalu saya tonton ulang kalau ingin menonton film yang sinematografinya membuat saya ikut lapar seperti si tokoh utama.
Sebagai anak piatu ketika menonton Little Forest saya merasa sedihnya bisa dibilang dua kali lipat, tetapi saya tidak bermaksud mengesampingkan pengalaman kesedihan penonton lain ketika menonton film ini. Hubungan ibu dan anak yang buat hampir semua orang merasakan hal yang sama, ibu ada di setiap lapis kehidupan anak-anaknya, baik maupun buruk. Sama halnya seperti yang dialami oleh Hye Won, si tokoh utama yang diperankan oleh aktris Kim Taeri. For your information, ini bukan film tentang anak piatu kok meskipun saya bilang sebagai anak piatu sedihnya dua kali lipat, hehe.
Hye Won ketika remaja merasa kalau kehidupan di desa tidak menjanjikan apa-apa, dia merasa tidak menemukan kemungkinan untuk hidup enak di sana. Hidup di desa rasanya serba lambat. Jauh dari mana-mana, fasilitas umum tidak semeriah di kota. Ia merasa jenuh dengan kehidupan di desa. Hye Won berpikir kalau kota besar yaitu Seoul menjanjikan dan dapat mengubah nasib ia dan ibunya. Selama ini ia hidup hanya berdua dengan ibunya pasca ayahnya meninggal ketika Hye Won berumur 4 tahun. Hye Won pun memutuskan untuk melanjutkan sekolah di Seoul. Tetapi realita berkata sebaliknya, di Seoul dia disibukkan dengan kuliah dan kerja paruh waktu untuk bertahan hidup, makan sembarangan yang penting perutnya terisi. Setiap hari ia hanya makan makanan yang dibeli di minimarket, itu pun harus mencuri-curi waktu di sela-sela bekerja paruh waktu. Ada salah satu scene di film yang menunjukan frustasinya Hye Won ketika harus makan makanan yang ia beli dari mini market. Dia memang makan, tapi ia tidak merasa makan yang sesungguhnya. Hye Won tetap merasa lapar.
Saya merasa laparnya Hye Won ada kaitannya dengan hubungan Hye Won dengan sang ibu yang sudah lama tidak berkomunikasi. Ada konflik antara ibu dan anak di sini, ibu Hye Won meninggalkan Hye Won bahkan sebelum Hye Won lulus SMA. Entah kemana sang ibu pergi, hanya ada petunjuk dari surat yang diselipkan Ibu Hye Won di sela tempat penyimpanan pisau, ibu mengatakan ingin mencoba hal yang tidak pernah dia lakukan setelah menikah.
Sepanjang film ini penonton dimanjakan dengan visual makanan sederhana buatan Hye Won, saat Hye Won memutuskan kembali ke desa. Makanan membuat Hye Won dengan sang ibu terikat satu sama lain meskipun dia tidak tahu di mana ibunya berada. Hye Won merasa kesal setiap kali ia memasak dan makan sesuatu, ia selalu menemukan ibu di sana. Saya merasa laparnya Hye Won ada kaitannya dengan rasa rindu yang ia rasakan selama ini selalu ia sangkal karena tertutup rasa marah dan kecewa atau mungkin gengsi.
Selama kembali ke desa, Hye Won menyadari hidup ibunya selama ini menderita pasca ditinggal sang suami atau ayah Hye Won. Ia harus membesarkan anak seorang diri, belum lagi statusnya sebagai janda jadi bahan obrolan tetangga. Selama kepulangannya itu, Hye Won memahami ibuya melalui makanan. Masakan yang ia buat selalu ada ibu di sana.
Ada adegan yang membuat saya menangis sesegukan, ketika Hye Won bertanya apakah ibu masih suka merindukan ayah. Ibu tidak menjawab, ia hanya melempar tomat yang belum selesai ia habiskan ke atas tanah. Kemudian adegan selanjutnya tomat tersebut tumbuh menjadi tanaman dan kembali berbuah. Saya merasa pertanyaan Hye Won sudah terjawab dari siklus hidup tanaman tomat yang ditampilkan, ya ibu masih merindukan ayah.
Apa yang Hye Won lalui sebagai anak yang tumbuh di desa, merasa desa tidak menjanjikan apa-apa, dialami juga oleh anak-anak lain yang berasal dari desa. Hal ini berawal dari citra desa yang telah terbentuk di masyarakat. Jika saya mengambil relevansinya dengan realitas yang terjadi di Indonesia, profesi bertani dianggap kurang bernilai dan identik dengan kemiskinan. Kota selalu digambarkan sebagai tempat yang menjanjikan kemapanan sebab sarana dan prasarana yang memadai, pelayanan umum yang serba cepat, gaji yang terlihat menjanjikan, dan pusat pemerintahan juga ekonomi. Perputaran ekonomi berputar di sana dengan cepat.
Saya bisa memahami perasaan Hye Won karena saya juga memiliki latar belakang yang sama, dulu ketika memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di luar kota kelahiran saya, saya juga punya mimpi yang sama, minimal mengubah hidup diri saya dan keluarga, menjadi berkecukupan. Saya merasa kota kelahiran saya tidak menjanjikan apa-apa, upah minimum yang tidak mencukupi hidup di desa sementara barang konsumsi dari kota. Tidak ada yang salah dengan mimpi tersebut mengubah hidup, yang jadi permasalahan adalah mimpi tersebut hanya akan menjadi mimpi yang sia-sia apabila sistem yang menaunginya tetap sama dengan ketika saya memulai untuk mengubah hidup. Sistem yang bobrok, penuh KKN di sana-sini, permasalahan struktutal yang tetap berjalan hingga kini memakan jutaan mimpi anak-anak lain.
Realita hidup tokoh Hye Won di Little Forest menggambarkan realitas hidup anak kelas menengah ke bawah. Kemapanan kota hanya semu. Ketika di kota yang ia temukan hanyalah kesenjangan yang terlihat sangat jelas. Semua makanan cepat saji yang masuk ke perutnya. Semua terasa sangat cepat dan membuat lelah karena tidak tahu apa yang harus dikejar.
Hye Won kembali ke desa dan kembali bertemu dengan dua teman dekatnya, yaitu Jae Ha dan Eun Sook. Eun Sook tidak pernah meninggalkan desa karena tidak memiliki kesempatan seperti Hye Won dan Jaeha yang bisa berkuliah di Seoul. Eun Sook memiliki pemikiran yang sama seperti saat Hye Won pertama kali memutuskan ke Seoul, Seoul terlihat sangat menjanjikan.
Dari kasus tiga sekawan itu mengingatkan saya pada sebuah pernyataan di akun twitter menfess @/tubirfess beberapa waktu lalu menanggapi sebuah artikel yang ditayangkan Vice Indonesia berjudul “Indonesia Terancam Tak Lagi Punya Warga yang Mau Jadi Petani Pada 2063”, akun submissions tersebut mengunggah sebuah tweet tanggapan seperti di bawah ini:
dream country anak muda tinggal di negara Norwegia, Swedia, dan negara Skandinavia lainnya. Tapi males jadi petani~2beer!
Pernyataan tersebut tentu tidak tepat tanpa tahu permasalahan bertani sebenarnya. Permasalahan bukan di sekadar anak muda yang malas kotor turun membajak sawah. Harga tanah yang menjulang tidak sesuai dengan upah minimum daerah, sewa tanah pun sama, tidak semua orang punya modal dan keberanian untuk meminjam modal karena perlu jaminan, sementara jaminan itu tidak ada. Belum lagi redistribusi tanah, fluktuasi harga sayur dan benih, tanah yang dimonopoli industri sawit, real estate, sementara kebutuhan terus ada.
Kembali ke persoalan di film, privilege pun tidak bisa lepas dari keputusan yang bisa diambil Jae Ha saat memutuskan untuk menjadi petani melanjutkan ayahnya, ayahnya memiliki lahan untuk digarap. Tadinya saya mau mengelu-elukan tokoh Jae Ha ini karena tidak tergoda dengan hal-hal yang Hyewon dan Eun Sook pikirkan, namun ternyata Jae Ha sudah merasakan asam manis kehidupan perkantoran yang hierarkis di kota. Tetapi tidak bisa disangkal pula ia punya akses lahan dari ayahnya yang memiliki perkebunan apel dan juga sawah, maka keputusan untuk menjadi petani lebih mudah bagi Jaeha daripada Hye Won dan Eun Sook.
Permasalahan yang dilalui anak muda kini bukan sekadar malas kotor-kotoran, tapi persoalan struktural, seperti lahan dan akses terhadap kredit permodalan tidak ada yang bisa dijadikan jaminan, kesenjangan ekonomi dan sosial, belum lagi sandwich generation. Terkadang orang melupakan generasi ini yang beban hidupnya bukan cuma menanggung hidup diri sendiri, tetapi juga orang tua dan saudara.
Little Forest mengingatkan saya dan mungkin penonton lain dengan berbagai macam persoalan yang musti dilalui anak muda saat ini. Apa yang saya ceritakan di atas kebanyakan dari persfektif desa ke kota jika membedah dari sisi tokoh-tokohnya. Namun tidak dapat dipungkiri persfektif kota ke desa pun sama problematiknya. Desa juga dianggap sebagai sesuatu yang eksotis, hidden gem, tempat yang cocok untuk stress release. Memang betul desa menjanjikan hidup yang adem dengan kualitas udara yang belum banyak tercemar. Namun dari anggapan itu pula dikhawatirkan tumbuh eksploitasi baru yang membahayakan desa itu sendiri. Dengan dalih untuk pariwisata dan meningkatkan pendapatan daerah bisa juga menjadi permasalahan baru, atau mungkin sudah?
Little Forest bukan cuma menghadirkan love hate relationship antara anak dan orangtua, namun juga tantangan anak itu sendiri sebagai manusia di dunia yang penuh dengan tuntutan tanpa kenal persoalan sebenarnya yang tengah dihadapi.