Ingatan Tentang Es dan Hutan Hujan

uyuy
3 min readJan 16, 2023

--

Kehidupan yang diimpikan masa kecil. Kota terbang lima musim, rumah bertingkat yang warnanya menyatu dengan alam. Pohon-pohon besar pemisah antar kampung, dekat dengan gunung juga pantai.

Sepulang sekolah hal pertama yang aku lakukan adalah menyeduh teh manis panas dan membawanya ke kamar yang aku tempati bersama kakakku. Saat itu kami belum punya kamar sendiri-sendiri, rumah kami masih setengah jadi tapi sudah bisa jadi tempat berteduh dari hujan Bogor yang tak kenal musim. Kasur bertingkat dan aku menempati bagian atas. Mama sering mengomel tiap kali melongok kasur atas yang aku tempati, “kayak toko rongsokan,” katanya. Di sana ada tumpukan komik Detektif Conan (yang menginspirasiku hingga SMA ingin menjadi Shuichi Akai si penembak jitu. Teman SMA 10–7 mungkin samar ingat jawabanku saat ditanya ingin jadi apa oleh guru kami). Kemudian majalah Misteri dan Hidayah yang aku pinjam dari laci warung nenek, tumpukan koran Kompas yang aku guntingi kolom fotografi dan puisi, lalu ditempel di buku tulis Sinar Dunia. Diam-diam aku merapal impianku di sana.

Aku masih ingat, saat SD gambarku seputar rumah impian yang sering aku lihat di majalah arsitektur dan hunian. Aku paling sering menggambar kamar, lengkap dengan lampu meja di atas nakas. Rupanya itu bentuk “manifesting” seperti yang sering dilontarkan orang-orang di internet, populer di twitter, yang ternyata sudah ku lakukan sejak dulu. Sampai akhirnya aku punya kamar sendiri. Sepertinya itu adalah kebebasan pertama dalam hidup yang aku sadari. Aku juga masih ingat ketika SMP kelas 9, aku sudah memikirkan ingin masuk ke sekolah menengah atas mana. Salah satu penyemangat aku dalam belajar adalah dengan menggambar sesuatu yang berkaitan dengan sekolah itu. Pada saat itu aku membuat kartu identitas siswa bertuliskan namaku dan sekolah tersebut, sekolah yang akhirnya aku lulus dari sana. Selain itu ada upaya sama yang aku lakukan ketika aku akan kuliah. Namun kali ini aku membuat logo kampus dan ditempel di buku catatan tempatku menulis jurnal sehari-hari. Dan taraaa, aku pun lulus dari sana dua tahun yang lalu.

Kali ini di tempat yang sama aku membuat kartu identitas dan logo kampus, ditemani daftar putar yang kuracik di salah satu aplikasi pemutar musik, bukan lagi radio yang memutar lagu Maliq d’Essentials atau suara penyiar yang mengabarkan lalu lintas. Aku kembali memikirkan apa lagi yang akan aku tulis dan gambar. Apa lagi yang akan aku kejar atau singkatnya kali ini apa tujuanku? Sekilas rindu perasaan gembira dari memiliki impian dan menaruh harap di sana. Oh iya aku jadi teringat salah satu video yang aku tonton beberapa waktu lalu. Tentang berkhayal jangan setengah-setengah. Gara-gara video itu juga aku kembali membuka medium dan menulis panjang lebar seperti ini. Aku memulai kembali menulis jurnal yang sempat aku tinggalkan beberapa waktu. Lagi-lagi disentil oleh sebuah video “sama mood aja kalah, apalagi sama kerasnya idup.” Aku kembali menulis harapan, sesederhana perayaan ulang tahunku ke-25 nanti. Umurku 1/4 abad Januari nanti. Namun kali ini ada rasa suka cita menyambut. Bukan lagi keputusasaan.

Entah kenapa tiap kali aku akan bertemu penghujung akhir tahun, aku merasa bersemangat menyambut akhir tahun dan suasana natal. Rasanya seperti akan menyambut hari raya Idul Fitri. Tahun ini setidaknya lebih semangat dari tiga tahun belakangan. Aku kembali pada kebiasaan menonton daily vlog orang-orang yang merayakan natal saat musim dingin. Lagi-lagi sejak kecil, aku terobsesi untuk sekadar berkunjung atau bahkan tinggal di negara bersalju seperti Eropa. Entah untuk sekolah, jalan-jalan, atau bahkan menetap seperti kataku tadi. Pikiranku saat dulu masih terbutakan bingkai definisi negara maju dan berkembang. Saat ini keinginannya masih sama, tapi motivasinya berbeda. Es yang aku bayangkan sekarang bukan cuma wangi apek kayu yang tak terkena sinar matahari di hutan Siberia, tapi juga es yang bercampur pesing di New York.

--

--

uyuy

Penggemar minuman kunyit jahe • she/her • artisan